Akhir-akhir ini, istri sering sekali mendengarkan muratal syeikh Mishari Rashid al-`Afasy. Surat yang paling sering diputar akhir-akhir ini adalah Surat Ibrahim, surat ke 14 dari kitabullah Al-quran. Saya yang ada di sebelahnya pun otomatis menjadi ikut sering mendengarkan qiraat dari syeikh Mishari tersebut. Suara beliau sungguh luar biasa indahnya, enak didengarkan, (tapi tidak membuat kantuk, hehehe). Bagaikan suara kicau burung yang indah.
Tapi artikel ini tidak akan membahas tentang keindahan suara syeikh mishari, bagaimana beliau bisa mendapatkan suara tersebut, atau pun bagaimana kita bisa seperti beliau. Saya lebih suka menulis tentang salah satu ayat yang ada pada surat ibrahim tersebut, yaitu ayat ke 37 yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Ibrahim, 37)
Mari kita dengarkan penuturan salah satu sahabat nabi, Ibnu Abbas ra, menceritakan bagaimana indahnya kisah tersebut. Kisah tentang Bapak, anak, dan istrinya. Kisah tentang Ibrahim, anaknya ismail, dan istrinya Hajar. Kisah yang bertempat di belahan bumi paling suci di muka bumi, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ini adalah kisah yang panjang dan alurnya mengalir jelas. Peristiwanya gambling, yang menceritakan tentang bapak kita Ismail bin Khalilullah Ibrahim ‘Alayhi Salam dan tentang ibu kita Hajar Ummu Ismail. Semua orang Arab adalah eturunan Ismail. Ada yang menyatakan bahwa sebagian orang Arab berasal dari asal-usul Arab kuno yang bukan anak keturunan Ismail. Ibu kita Hajar adalah wanita Mesir yang dihadiahkan oleh penguasa dzalim Mesir kepada Sarah dalam sebuah kisah yang akan disebutkan selanjutnya.
Takdir Allah menetapkan bahwa Nabi Ibrahim tidak mempunyai anak kecuali dia sudah dalam keadaan tua. Manakala Ibrahim belum kunjung dikaruniai anak dari istrinya, Sarah, maka Sarah memberikan hamba sahayanya, Hajar, kepada Ibrahim untuk dinikahi dengan harapan bahwa darinya Allah akan memberi anak. Hajar pun hamil dan melahirkan Ismail di bumi yang penuh berkah, Palestina.
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Ibrahim, 39)
Sifat manusiawi Sarah pun muncul, dan ini memang tidak bisa dipersalahkan. Sarah akhirnya cemburu kepada Hajar. Hal tersebut bukan menunjukkan kejelekan dari Sarah, tapi memang seperti itulah fitrah seorang wanita didunia. Bahkan istri-istri Rasulullah pun pernah saling cemburu. Allah pun memerintahkan Ibrahim agar pindah bersama Hajar dan Ismail kecil yang masih dalam susuan ibunya. Allah memerintahkan Ibrahim ke tempat jauh yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa. Daerah padang pasir yang tandus dan luas tanpa ada orang yang ada disekitarnya.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam usia lanjut. Bisa kita bayangkan, setelah sekian lama menanti kelahiran seorang anak, setelah diberi anugrah seorang anak kemudian diuji dengan perintah untuk menjauhkannya. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa penduduk.
Ibrahim membawa Ismail kecil, dan ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk, kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah pohon pada suatu padang pasir yang tandus. Kemudian Ibrahim segera meninggalkan mereka di tempat itu tanpa membuatkan rumah, mencari orang yang bersedia tinggal di sisinya.
Hajar pun kemudian berkata kepada suaminya, Ibrahim, “Engkau membiarkan kami dan pergi begitu saja..??”. Ibrahim pun berlalu tanpa menoleh dan menjawab pertanyaan dari ibu Ismail tersebut. Hajar mengulang pertanyaan itu berkali-kali sementara Ibrahim tidak menjawabnya sedikitpun. Ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim membawa dirinya kepadanya.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131)
Ketika hajar merasa gagal mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tersebut, dia kemudia merubah pertanyaannya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini..??”. Barulah kemudian ibrahim menjawab, “Iya, Allah lah yang memerintahkan aku untuk melakukan ini”. Kemudian Hajar pun tersenyum lega dan menjawab, “Kalau memang demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami.”, kemudian Hajar pun kembali kepada anaknya, Ismail. Sang Bapak ini pun kemudian berjalan sampai kesuatu bukit dimana mereka tidak bisa melihatnya. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa kalimat seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan,
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki kepada mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Sungguh indah doa Ibrahim kepada keluarga yang baru saja beliau tinggal di bawah pohon di padang pasir yang luas. Ibrahim menyerahkan semua urusannya kepada Rabb Yang Mengatur Segala Sesuatu, Rabb Yang tidak pernah menyalahi janji, Rabb yang maha penyayang.
Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air yang berada di dalam kantong kulit. Berhari-hari hajar dan ismail kecil tinggal di lembah tersebut. Semakin lama, perbekalan mereka pun habis. Air sudah habis, ia merasa kehausan, demikian pula putranya, Ismali kecil, yang menangis kehausan. Ia pun pergi karena tidak tega melihatnya. Hingga ia menemukan Shafa, bukit yang paling dekat dengannya. Maka ia berdiri di atasnya, menghadap ke lembah sambil melihat-lihat adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Setelah turun dari Shafa, ia sampai di lembah, ia mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang mati-matian, hingga berhasil melewati lembah. Lalu dia mendatangi bukit yang lain, Marwah, berdiri di atasnya sembari melihat apakah ada seseorang yang dapat dilihatnya, tetapi dia tetap tidak melihat seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.”
Pada saat dia mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar-mandir. Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah.
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (QS. Al-Baqarah:158)
Setelah tujuh kali berputar-putar antara bukit shafa dan marwah, Hajar pun mendengar suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.” Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air
pun memancar. Ia menciduk dan memasukkan air itu ke kantongnya. Air itu terusmengalir deras setelah ia menciduknya.” Karena didorong rasa ingin memanfaatkan air tersebut, Hajar pun membendung air Zamzam tersebut.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibu Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam.” Atau beliau bersabda, ”Seandainya ia tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Lebih lanjut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa kemudian ia meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu Malaikat berkata kepadanya, “Janganlah engkau khawatir akan disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.” Posisi rumah Allah itu terletak lebih tinggi dari permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap. Mereka mulai menetap di lembah itu setelah takjub melihat air yang memancar di padang pasir yang tandus. Mereka takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu Ismail.
Perhatikanlah bagaimana seseorang yang yakin betul dengan penjagaan dan perlindungan dari Alloh. Ibu Ismail tidak ragu sedikitpun mengucapkan bahwa mereka tidak akan diterlantarkan karena sang bapak melakukan perintah dari Alloh. Dan ternyata persangkaan Ibu Ismail tepat. Bahkan tempat tersebut sekarang dikunjungi oleh jutaan umat muslim dari segala penjuru untuk melaksanakan ibadah haji.
Melaksanakan perintah Alloh itu jelas akan mendatangkan kebaikan, kebahagiaan dan kemuliaan bagi yang melakukannya. Kita tidak akan pernah tahu seperti apa takdir yang telah ditetapkan untuk kita. Tugas kita adalah berusaha dengan sungguh-sungguh, berdoa, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Alloh Rabb Pencipta Langit. Sebagaimana yang dilakukan Ibu Ismail saat melihat Ismail kecil menangis merengek-rengek kerena kehausan, yang dilakukan Ibu Ismail adalah berusaha dengan sangat keras untuk mencarikan sumber makanan untuk anaknya. Hal tersebut dibuktikan dengan Ibu Ismail berlari hingga 7 kali bolak-balik dari bukit shafa menuju bukit marwah. Hingga pada akhirnya pertolongan Alloh pun datang di tengah-tengah kesulitan Ibu ismail mencari air.
Semoga kita bisa belajar dari kisah Nabi kita, Bapak para Nabi, Ibrahim as.
Kyoto, 14 Maret 2014
Hidayat Panuntun