Dengan yakinnya saat itu Nabi Musa ‘alaihissalam menjawab “Aku”.. Ya, itulah jawaban Nabi Musa saat ditanya oleh kaumnya siapakah orang yang paling alim di muka bumi, dan Musa pun menjawab “Aku”. Sebuah jawaban yang kemudian Allah menghadirkan kisah perjalan Nabi Musa sebanyak 23 ayat di surat alkahfi. Nabi Musa adalah salah satu rasul ulul ‘azmi, Rasul yang termasuk dalam kategori istimewa karena ketabahan dan kesabaran mereka dalam mengemban risalah tauhid yang diberikan Allah pada mereka. Tapi Musa pernah tidak bisa bersabar saat berjalan bersama dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami (nabi khidir) yang kemudian Allah hadirkan kisah perjalanan tersebut secara lengkap di surat al-kahfi.
Ada yang menarik di kisah pada surat al-kahfi tersebut, saat Musa berkata kepada Khidir “…Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar…”(al-kahfi, 69). Coba bandingkan dengan gaya bahasa Nabi Ismail saat sang ayah bermaksud menyembelihnya demi melaksanakan perintah Allah,
Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”(As-saaffaat, 102)
Para mufassirin berpendapat, gaya bahasa nabi Musa over confident, Ismail memandang dirinya sebagian kecil dari dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan, seperti yang telah kita ketahui di sura al kahfi tersebut, Musa gagal bersabar disetiap kesempatannya bersama Khidir. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pun berkomentar “seandainya Musa bisa lebih bersabar, mungkin kita akan memperoleh lebih banyak pelajaran”.
Wallahu ‘alam, seperti itulah karakter nabi Musa. Beliau diutus kepada kaum yang paling ngeyel, keras kepala sedunia. Kaum yang paling menindas dan paling angkuh yang ada hingga saat ini. Beliau diutus saat itu untuk memperingatkan kaum yang rajanya mendakwakan diri sebagai tuhan. Fir’aun, itulah nama raja tersebut.
Kaum tersebut adalah kaum yang kita kenal dengan nama kaum Yahudi. Mari kita lihat bagaimana keras kepala, angkuh, dan sombongnya kaum Yahudi tersebut. Allah menggambarkan bagaimana kaum yahudi di surat Al-baqarah ayat 96
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka (Yahudi – Bani Israil), manusia yang paling tamak kepada kehidupan dunia (rakus akan harta), bahkan (lebih tamak) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari adzab. Dan Allooh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (al-baqarah, 96)
Dan juga peristiwa di hari sabat yang kemudian Allah mengabadikan peristiwa tersebut pada surat al-baqarah (163-166)
dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik.
Hingga sampai di akhir ayat,
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.
Mari kita lihat lagi bagaimana keras kepalanya kaum Yahudi di surat An-nisaa ayat 153 berikut ini:
Ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata: “Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami ma’afkan (mereka) dari yang demikian. dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata (an-nisaa, 153)
Juga soal meminta makanan yang lain, padahal di sisi mereka telah ada makanan yang turun dari syurga. Allah berfirman pada surat Al-baqarah ayat 61
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-baqarah 57)
Dan (ingatlah), ketika kamu (yahudi) berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta” (al-baqarah, 61)
Israel bukan Yahudi.
Israel adalah nama lain dari Nabiyullah Ya’qub. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi sebagaimana disebutkan dalam hadis yang di riwayatkan dari abu daud, dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu: “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Daud At-Thayalisy 2846)
Ada yang besar yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin, Penamaan negeri yahudi dengan Israel termasuk dari sekian banyak konspirasi yahudi terhadap dunia. Mereka menutupi kejahatan mereka dengan nama bapak mereka Israel. Karena mereka bisa jadi telah sadar seandainya memakai nama negera Yahudi akan dicap jelek oleh seluruh dunia. Mengingat Allah telah mencela mereka (yahudi) di banyak ayat pada al-quran.
Mungkin ada yang mengatakan “kami tidak bermaksud untuk menghina nabi ya’qub, tapi sebaliknya yang kami maksud itu adalah Yahudi”. Tahukah anda ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)
Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.
Kembali ke kisah nabi musa dan nabi khidir, ada ending yang menarik di akhir kisah tersebut saat nabi khidir menceritakan maksud dibalik semua yang telah dilakukan terhadap kapal, terhadap anak, dan rumah. Nabi khidir berkata “wa maa fa’altuhu ‘an amrii”, apa yang aku lakukan ini bukanlah keinginanku. Ya.. Nabi khidir melakukan semua itu karena Allah telah mewahyukan secara lengkap kejadian apa yang terjadi sebelum, saat, dan yang akan datang pada Nabi Khiddir.
Apakah itu berarti Nabi Khiddir lebih utama dari Nabi Musa? Tentu saja tidak
Musa termasuk dalam golongan rasul istimewa, Golongan ulul ‘azmi bersama Nuh, Ibrahim, ‘Isa, dan Muhammad. Maka Musa lebih utama dari Nabi Khiddir.
“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” (Al A’raaf 144)
Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka bisa kita jumpai dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti kehidupan dunia. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul ‘Azmi menjadi bisa kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang manusia.
Justru keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di hadapan. Yang mereka tahu hanyalah Allah pasti bersama mereka.
Nuh yang bersusah payah membuat kapal di atas bukit tentu saja harus menahan geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir 500 tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah. Ya.. 950 tahun lamanya ummat nabi Nuh tetap hanya sedikit. Nuh berkata dengan bijak, “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian kini menertawai kami”, Tentu saja Nuh belum tahu Allah akan menurunkan banjir. Air tercurah dari langit, keluar dari dalam bumi. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan membina kapalnya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Begitu pula Nabi Ibrahim saat beliau bermimpi mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya yang masih kecil. Ibrahim tidak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putra tercintanya. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Isma’il harus disembelih. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.
Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajah? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Ibu Nabi Musa yang mendapatkan ilham dari Allah untuk menghanyutkan anaknya Musa ke sungai, belum tahu apa yang terjadi setelah ia menghanyutkan anaknya.
Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan. Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. dan kamu pernah membunuh seorang manusia,..” (QS-Thohaa, 38-40)
Begitu pula dengan musa dan kaumnya saat menemui jalan buntu, terpepet di tepi laut dalam kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bani Israel yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita pasti tersusul!”, kata mereka “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itupun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya. ‘Alaihis Salaam..
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa dengan khusuknya di malam sebelum pertempuran badar. Dalam sirah dituliskan bahwa rasul shalat dan berdoa sepanjang malam, dalam doanya beliau berkata, Andai pasukan ini kalah, maka engkau tidak tidak akan lagi disembah dimuka bumi ini (HR. Muslim 3/1384 hadits no 1763). Saat itu beliau tidak tahu bagaimana akhir dari pertempuran tersebut. Saat 300 kaum muslimin akan berperang melawan 1000 lebih pasukan kafirin. Akal sehat manusia pasti akan berpikir, yang 1000 pasti akan mengalahkan yang 300. Tapi kuasa Allah diatas segalanya. Allah pun mengabarkan kemenangan lewat perantara Rasulnya di pagi hari. Saat Rasul melihat bantuan 3000 malaikat yang datang dari langit berturut-turut dengan Jibril sebagai komandannya. Sebuah pemandangan yang membuat syetan yang ada di pihak kaum kafir ketika itu pun mundur. Tepat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2 hijrah, Sejarah mencatat bagaimana kuasa Alloh bekerja terhadap semua makhluk ciptaanNYA. Pasukan yang jumlah nya sedikit tersebut dimenangkan oleh Allah.
Kuncinya kesabaran.
Sabar adalah bingkai yang tepat untuk doa, usaha, dan tawakal yang telah kita lakukan. Tidak ada seorangpun dari makhluk ciptaan Allah yang tidak diuji kesabarannya. Allah pasti akan menguji para hambaNYa dengan berbagai musibah, maka kewajiban hambaNya adalah bersabar dalam menghadapi ujian tersebut.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (al-baqarah, 155-157).
Ya.. “innalillahi wa inna ilahi raaji’uun”, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepadaNYAlah kita dikembalikan. Ungkapan sabar yang sungguh indah yang diajarkan Allah untuk kita. Sebuah ucapan yang bahkan tidak diajarkan oleh Allah kepada Nabi ya’qub saat ditimpa musibah kehilangan anak yang paling dicintainya, yusuf. Ya’qub hanya mengucapkan “fashobrun jamiil”, maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku.
Maka, semua urusan itu bagi seorang muslim adalah baik. Rasul pun mengabarkan betapa mengherankannya urusan seorang muslim itu.
Dari Shuhaib, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengherankan urusan seorang Mukmin. Sesungguhnya semua urusan orang Mukmin itu baik, dan itu tidaklah ada kecuali bagi orang mukmin. Jika kesenangan mengenainya, dia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika kesusahan mengenainya, dia bersabar, maka sabar itu baik baginya [HR. Muslim, no: 2999]