Saat Para Wali (Mewanti-wanti) “Budaya” Selamatan/Tahlilan (Part 1)

Malam ini saya membaca sebuah artikel ilmiah yang cukup menarik. Sebuah penelitian tentang walisongo yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Dokumen penelitian itu sekarang tersimpan di Museum Leiden, Belanda (Bagi yang tidak percaya bisa dicek di Belanda sana..^^)

 

Penelitian ini melibatkan beberapa peneliti dari belanda yaitu Dr. Bjo Schrieke, Dr. Jgh Gunning, Dr. Da Rinkers.

Mereka meneliti tentang bagaimana persebaran dakwah oleh para walisongo.

 

Dalam naskah tersebut, diantaranya menceritakan tentang bagaimana Sunan Ampel yang memperingatkan Sunan Kalijaga yang masih melestarikan budaya Hindu/Budha ketika itu (SELAMATAN). Saat Sunan Ampel memperingatkan tentang hal tersebut, akan tetapi oleh Sunan Kalijaga dijawab, “BIARLAH NANTI GENERASI SETELAH KITA KETIKA ISLAM TELAH TERTANAM DI HATI MASYARAKAT YANG AKAN MENGHILANGKAN BUDAYA TAHLILAN ITU”.

 

Dalam buku Kisah dan Ajaran Walisongo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi (Penerbit Terbit Terang – Surabaya) mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kudus, Sunan Kalijogo, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat.

 

Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, sesaji, wayang, gamelan disisipkan dalam ajaran islam. Akan tetepi Sunan Ampel mempunyai kekhawatiran dikemudian hari adat istiadat dan upacara lama tersebut nantinya akan dianggap sebagai ajaran yang berasal dari Agama Islam. Sunan Kudus memberikan pengertian, ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. Sunan Kudus berkeyakinan bahwa kelak akan ada yang mengingatkan bahwa kegiatan itu sebenarnya BUKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI AJARAN AGAMA ISLAM. Para Sunan tersebut mengajarkan agama islam dengan mencoba menerima sisa ajaran agama Hindu dan Budha didalam menyampaikan ajaran islam agar diterima masyarakat.

 

Dari hasil penelitian peneliti dari belanda tersebut dapat kita simpulkan bahwa kegiatan seperti tahlilan, selamatan, peringatan kematian (7 hari, 40 hari, 1000 hari, dll) itu merupakan ajaran agama Hindu/Budha yang dulu digunakan oleh para Sunan untuk dakwah Islam agar masyarakat mau menerima ajaran islam.

 

Sesuai dengan yang dikatakan Sunan Kalijaga diatas, “BIARLAH NANTI GENERASI SETELAH KITA KETIKA ISLAM TELAH TERTANAM DI HATI MASYARAKAT YANG AKAN MENGHILANGKAN BUDAYA TAHLILAN ITU”. Berarti ada “tugas” yang belum selesai yang harus disampaikan pada ustadz saat ini.

Bagi mereka yang ngotot mengerjakan kegiatan tersebut. Ada baiknya kita ingatkan mereka tentang sebuah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari jalur Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ‘anha (yang artinya), “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.)

 

Ya, Disebut Perkara Baru, Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam tidak pernah melakukan kegiatan tersebut sebelumnya. Ketika Putra Beliau yang bernama Ibrahim meninggal, beliau shallallahu ‘alaihi was sallam tidak pernah melakukan acara Tahlil 7 Hari, 40 Hari, 1000 Hari. Pun Begitu ketika Rasulullah meninggal, para sahabat radhiallahu ‘anhuma ketika itu tidak melakukan tahlilan tersebut. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  dan para sahabat tidak melakukannya, kenapa ada sebagian kaum muslimin saat ini melakukan kegiatan tersebut. betul-betul sebuah perkara yang baru dan (sesuai dengan hadist nabi diatas) TERTOLAK.

 

Seperti yang dikatakan oleh Sunan Kalijaga dalam buku dan hasil penelitian tersebut, Beliau berharap nantinya ketika islam telah tertanam di hati masyarakat, maka kegiatan itu akan hilang. Atau seperti harapan Sunan Kudus yang berharap KELAK AKAN ADA YANG MENGINGATKAN BAHWA KEGIATAN TERSEBUT BUKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI AJARAN AGAMA ISLAM.

 

Yang terakhir, saya akan menuliskan tentang peristiwa yang terjadi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Ketika itu sahabat nabi Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk. MEREKA BERTAKBIR, BERTAHLIL, BERTASBIH DENGAN DIPIMPIN OLEH SESEORANG. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada.Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.Bejananya pun belum pecah.Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad?Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?” Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi no. 204. Husain Salim Asad mengatakan sanad hadits ini jayyid).

 

Oleh karena itu, mari kita teruskan tugas para wali yang masih belum terselesaikan tersebut. tepat seperti apa yang dikakatan Sunan Kalijogo ataupun Sunan Kudus waktu mereka mendakwahkan islam. Mereka berharap akan ada orang yang mengingatkan kepada masyarakat saat kegiatan-kegiatan tersebut “dilestarikan” oleh masyarakat, meskipun rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam tidak pernah mengajarkan hal tersebut.

Semoga ALLOH memberikan kepada kita HidayahNYA agar kita bisa selamat dari tipu daya syetan.

 

Semoga ALLOH menjauhkan kita dari sifat SOMBONG. dimana hakikat dari SOMBONG adalah seperti yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dalam suatu hadist. “…Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. (HR. Muslim no. 91). Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, setelah semua bukti-bukti diberikan kepada mereka. Belumkan datang bagi mereka peringatan dari ALLOH dan RasulNYA.

 

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (Al-Hadiid, 16)

 

(Bersambung..)

 

Hidayat Panuntun

Potorono, 16 Februari 2013 (23:27)